Bab 2
Pengertian, Asas-Asas, Dan Kompetensi PTUN
A. Pengertian Hukum Acara PTUN
Istilah hukum acara peradilan tata usaha negara masih terdapat peristilahan lain dengan maksud yang hampir sama.contohnya : “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Pemerintahan”, “Hukum Acara Peradilan Administrasi Negara”, dan “Hukum Acara Peradilan Administrasi”.
Menurut Rozali Abdullah, Hukum Acara PTUN adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan Hukum Tata Usaha Negara (Hukum Administrasi Negara).Dengan kata lain hukum yang mengatur tentang cara-cara bersengketa di Peradilan Tata Usaha Negara serta mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak yang terkait dalam proses penyelesaian sengketa tersebut.
Hukum acara PTUN dalam UU PTUN dimuat dalam pasal 53 sampai dengan pasal 141. UU PTUN terdiri atas 145 pasal , dengan demikian komposisi hukum materil dan hukum formilnya adalah; hukum materil sebanyak 56 pasal, sedangkan hukum formilnya sebanyak 89 pasal (atau dengan prbandingan jumlah hukum materil sebanyak 38, 7 persen dan hukum formil sekitar 61, 3 persen dari total jumlah pasal yang ada dalam UU PTUN).
B. Asas-asas Hukum Acara PTUN
Dengan didasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka secara garis besarnya kita dapat menggali beberapa asas hukum yang terdapat dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara :
1. Asas praduga rechmatig (vermoeden van rechmatigheid, praesumptio iustae causa). Dengan asas ini setiap tindakan pemerintahan selalu dianggap rechmatig sampai ada penbatalan (lihat pasal 67 ayat (1) UU PTUN).
2. Asas gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan keputusan tata usaha negara (KTUN) yang dipersengketakan, kecuali ada kepentingan yang mendesak dari penggugat (pasal 67 ayat (1) dan ayat 4 huruf a).
3. Asas para pihak harus di dengar (audi et alteram partem). Para pihak mempunyai hak yang sama dan harus di perlakukan dan diperhatikan secara adil.
4. Asas kesatuan beracara dalam perkara sejenis baik dalam pemerikssaan di peradilan judex facti, maupun kasasi dengan Makamah Agung sebagai puncaknya.
5. Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman kekuasaan yang merdeka dan bebas dari segala macam campur tangan kekuasaan yang lain baik secara langsung maupun tidak langsung bermaksud untuk mempengaruhi keobyektifan putusan pengadilan.
6. Asa peradilan dilakukan dengan sederhana,cepat, dan biaya ringan (Pasal 4 UU 14/1970).
7. Asas hakim aktif
8. Asas sidang terbuka untuk umum
9. Asas peradilan berjenjeng
10. Asas peradilan sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan.
11. Asas obyektifitas.
C. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara
Kompetensi adalah kewenangan atau kekuasaan untuk menentukan (memutuskan sesuatu).
Kompetensi peradilan di bagi menjadi 2 yaitu : kompetensi absolut dan kompetensi relatif.
Kompetensi absolut adalah menyangkut kewenangan badan peradilan apa untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara.
Kompetensi absolut dari Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara seorang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat TUN (Tata usaha negara ) akibat di keluarkannya suatu suatu keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian. (pasal 1 anka 4 UU PTUN).
Kompetensi relatif adalah kewenangan dari pengadilan sejenis yang mana yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang bersangkutan.dalam kaitannya dengan peradilan tata usaha negara, maka kompetensi relatifnya adalah menyangkut kewenangan pengadilan tata usaha negara yang mana yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut.sehubungan dengan itu pasal 54 UU PTUN menyebutkan gugatan dapat di ajukan kepada PTUN tempat kedudukan (domisili) tergugat.
BAB 3
Persamaan dan Perbedaan Hukum Acara PTUN dengan Hukum Acara Perdata
A. Persamaan Antara Hukum Acara Pengadilan TUN dengan Hukum Acara Perdata
1. Pengajuan Gugatan
Pengajuan gugatan menurut hukum acara PTUN diatur dalam pasal 54 UU PTUN sedangkan menurut hukum acara perdata diatur dalam pasal 118 HIR.
2. Isi Gugatan
Persyaratan mmengenai isi gugatan menurut hukum acara PTUN di atur dalam pasal 56 UU PTUN, sedangkan menurut hukum acara perdata diatur dalam pasal 8 nomor 3 Rv.
3. Pendaftaran Perkara
Pendaftaran perkara menurut hukum acara PTUN diatur dalam pasal 59 UU PTUN, sedangkan dalam hukum acara perdata diatur dalam pasal 121 HIR.
4. Penetapan Hari Sidang
Penetapan hari sidang menurut hukum acara PTUN diatur dalam pasal 59 ayat 3 dan pasal 64 UU PTUN,sedangkan menurut hukum acara perdata diatur dalam pasal 122 HIR.
5. Pemanggilan Para Pihak
Pemanggilan para pihak menurut hukum acara PTUN diatur dalam pasal 65 dan pasal 66 UU PTUN, sedangkan menurut hukum acara perdata di atur dalam pasal 121 ayat (1) HIR, pasal 390 ayat (1) dan pasal 126 HIR.
6. Pemberian Kuasa
Pemberian kuasa oleh kedua belah pihak menurut hukum acara PTUN diatur dalam pasala 67 UU PTUN, sedangkan menurut hukum acara perdata diatur dalam pasal 123 ayat (1) HIR.
7. Hakim Majelis
Pemeriksaan perkara dalam hukum acara PTUN dan hukum acara Perdata dilakukan dengan Hakim Majeis (tiga orang hakim) yang terdiri atas satu orang bertindak selaku hakim ketua dan dua orang lagi bertindak sebagai hakim anggota (pasal 68 UU PTUN).
8. Persidangan Terbuka Untuk Umum
Sidang pemeriksaan perkara di pengadilan pada asasnya terbuka untuk umum, dengan demikian setiap orang dapat untuk hadir dan mendengarkan jalannya pemeriksaan perkara tersebut. Dalam hukum acara PTUN diatur dalam pasal 70 ayat (1) UU PTUN sedangkan dalam ukum acara perdata diatur dalam pasal 179 ayat (1) HIR.
9. Mendegar Kedua Belah Pihak
Dalam pasal 5 ayat (1) UU 14/1970 disebutkan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang. Dengan demikian ketentuan pasal ini mengandung asas kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihak, dan kedua belah pihak didengar dengan adil. Hakim tidak diperkenankan hanya mendengarkan atau memperhatikan keterangan salah satu pihak saja (audi et alteran partem).
10. Pencabutan dan Perubahan Gugatan
Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya, sebelumtergugat memberikan jawaban. Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan yang diajukan penggugat, maka akan dikabulkan hakim, apabila mendapat persetujuan tergugat (pasal 76 UU PTUN dan pasal 271 RV).
11. Hak Ingkar
Untuk menjaga obyektivitas dan keadilan dari putusan hakim, maka hakim atau panitera wajib mengundurkan diri, apabila diantara para hakim,antara hakim dan panitera,antara hakim atau dengan salah satu pihak yang berperkara mempunyai hubungan sedarah atau semenda sampai derajat ketiga,atau hubungan suami isteri meskipun telah bercerai,atau juga hakim atau panitera mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan sengketanya.
12. Pengikutsertakan Pihak Ketiga
Baik dalam hukum acara PTUN maupun hukum acara perdata, pada dasarnya didalam suatau sengketa atau perkara, sekurang-kurangnya terdapat dua pihak, yaitu penggugat (sebagai pihak yang mengajukan gugatan) dan pihak tergugat (sebagai pihak yang digugat oleh penggugat).
13. Baik hukum acara PTUN maupun hukum acara perdata sama-sama menganut asas bahwa beban pembuktian ada pada kedua belah pihak, hanya karena yang mengajukan gugatan adalah penggugat, maka penggugatlah yang mendapat kesempatan pertama untuk membuktikannya.sedangkan kewajiban tergugat untuk membuktikan adalah dalam rangka membantah bukti yang diajukan oleh penggugat dengan mengajukan bukti yang lebih kuat (pasal 100 sampai dengan pasal 107 UU PTUN dan pasal 163 dan 164 HIR).
14. Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan setelah adanya putusan. Dan putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 115 UU PTUN),yang pelaksanaanya dilakukan atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama (pasal 116 UU PTUN, pasal 195 HIR).
15. Juru Sita
B. Perbedaan Antara Hukum Acara TUN dengan Hukum Acara Perdata
1. Objek Gugatan
Objek gugatan atau pangkal sengketa TUN adalah KTUN yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang mengandung perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa, sedangkan dalam hukum acara perdata adalah peruatan melawan hukum.
2. Kedudukan Para Pihak
Kedudukan para pihak dalam sengketa TUN,selalu menempatkan seseorang atau badan hukum perdata sebagai pihak tergugat. Sedangkan dalam hukum acara perdata tidaklah demikian.
3. Gugat Rekonvensi
Gugat rekonvensi adalah gugatan yang diajukan oleh tergugat terhadap penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan antar mereka. Dalam hukum acara PTUN tidak mungkin dikenal adanya gugat rekonvensi, karena dalam gugat rekonvensi berarti kedudukan para pihak semula menjadi berbalik.
4. Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan
5. Tuntutan dalam Gugatan
Dalam hukum acara perdata boleh dikatakan selalu tuntutan pokok itu disertakan dengan tuntutan pengganti atau petitum subsidiair. Dalam hukum acara PTUN, hanya dikenal satu macam tuntutan agar KTUN yang digugat dinyatakan batal atau tidak sah atau tuntutan agar KTUN yang dimohonkan oleh penggugat dikeluarkan tergugat.
6. Rapat Permusyawaratan
Prosedur ini tidak dikenal dalam hukum acara perdata. Sedangkan dalam hukum acara PTUN, ketentuan ini diatur dalam pasal 62 UU PTUN.
7. Pemeriksaan Persiapan
Disamping pemeriksaan melalui rapat permusyawaratan, hukum acara PTUN juga mengenal pemeriksaan persiapan,yang juga tidak dikenal dalam hukum acara perdata.
8. Putusan Verstek
Verstek berarti pernyataan bahwa tergugat tidak datang pada hari sidang pertama. Putusan verstek dikenal dalam hukum acara perdata dan boleh dijatuhkan pada hari sidang pertama,apabila terggat tidak datang setelah dipanggil dengan patut. Sedangkan dalam pasal 72 ayat 1 UU PTUN, maka dapat diketahui bahwa dalam hukum acara PTUN tidak dikenal putusan verstek karena badan atau pejabat TUN yang digugat itu tidak mungkin tidak diketahui kedudukannya.
9. Pemeriksaan Acara Cepat
Dalam hukum acara PTUN dikenal pemeriksaan dengan acara cepat (pasal 98 dan 99 UU PTUN ), sedangkan dalam hukum acara perdata tidak dikenal pemeriksaan dengan acara cepat.
10. Sistem Hukum Pembuktian
Sistem pembuktian dalam hukum acara perdata dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran formal, sedangkan dalam hukum acara PTUN dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran materiil.
11. Sifat Erga Omnesnya Putusan Pengadilan
Dalam hukum acara PTUN, putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap mengandung sifat erga omnes artinya berlaku untuk siapa saja dan tidak hanya terbatas berlakunya bagi pihak-pihak yang berperkara,seperti halnya dalam hukum acara perdata.
12. Pelaksanaan Serta Merta
Dalam hukum acara PTUN tidak dikenal pelaksanaan serta merta sebagaimana yang dikenal dalam hukum acara perdata. Dalam hukum acara PTUN, hanya putusan akhir yang telah berkekuatan hukum tetap saja yang dapat dilaksanakan.
13. Upaya Pemaksa Agar Putusan Dilaksanakan
Dalma hukum acara perdata,apabila pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela,maka dikenal adanya upaya-upaya pemaksa agar putusan tersebut dilaksanakan, sedangkan dalam hukum acara PTUN tidak dikenal adanya upaya-upaya pemaksa, karena hakikat putusan adalah bukan menghukum sebagaimana hakikat putusan dalam hukum acara perdata.
14. Kedudukan Pengadilan Tinggi
Dalam hukum acara perdata kedudukan pengadilan tinggi selalu sebagai pengadilan tingkat banding sehingga setiap perkara tidak dapat langsung diperiksa oleh pengadilan tinggi, tetapi harus terlebih dahulu melalui pengadilan tingkat pertama. Sedangkan dalm hukum acara PTUN kedudukan pengadilan tinggi dapat sebagai pengadilan tingkat pertama.
15. Hakim Ad Hc
Hakim ad hoc tidak dikenal dalam hukum acara perdata apabila diperlukan keterangan ahli dalam bidang tertentu, hakim cukup mendengarkan keterangan dari saksi ahli, sedangkan dalam hukum acara PTUN,hakim ad hoc diatur dalam pasal 135 UU PTUN. Apabila memerlukan keahlian khusus, maka ketua pengadilan dapat menunjuk seorang hakim ad hoc sebagai anggota majelis.
BAB 4
Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara
A. Pangkal Sengketa TUN
Pangkal sengketa TUN dapat diketahui dengan mengetahui dengan menentukan apa yang menjadi tolak ukur sengketa TUN. Tolak ukur sengketa TUN adalah tolak ukur subyek dan pangkal sengketa. Tolak ukur subyek adalah para pihak yang bersengketa dibidang hukum administrasi negara (tata usaha negara).sedangkan pangkal sengketa adalah sengketa admlistrasi negara yang diakibatkan oleh ketetapan sebagai hasil perbuatan administrasi negara.tolak ukur pangkal sengketa adalah akibat dikeluarkannya suatu keputusan tata usaha negara (KTUN). Dengan demikian, UU PTUN hanya menganut sengketa ekstern. Sengketa ekstern adalah perkara administrasi yang menimbulkan sengketa antara administrasi negara dengan rakyat sebagai subyek.
Perbuatan atau tindakan badan atau pejabat TUN yang menjadi kompetensi PTUN adalah menyangkut perbuatan atau tindakan mengeluarkan keputusan.
Pangkal sengketa TUN adalah akibat dikeluarkannya KTUN. Berdasarkan pasal 1 angka 3 UU PTUN yang dimaksud KTUN adalah suatu penetapan tertulis ysng dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang berisi tindsakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final,yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
B. Kedudukan Para Pihak dalam Sengketa TUN
Berdasarkan pasal 1 angka 4 UU PTUN para pihak dalam sengketa TUN adalah orang (individu) atau badan hukum perdata dan badan atau pejabat TUN. Dapat diketahui bahwa kedudukan para pihak dalam sengketa TUN adalah orang (individu) atau badan hukum perdata sebagai pihak penggugat dan badan atau pejabat TUN sebagai pihak tergugat. Hal ini sebagai konsekuensi logis bahwa pangkal sengketa TUN adalah akibat dikeluarkannya KTUN. Dengan demikian, dalam sengketa TUN tidak mungkin terjadi rekonvensi (gugat balik).
C. Para Pihak dalam Sengketa TUN
Penggugat adalah orang atau badan hukum perdata yang dirugikan akibat dikeluarkannya KTUN.
Tergugat adalah selalu badan atau pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau dilimpahkan kepadanya.
D. Jalur Penyelesaian Sengketa TUN
Dalam penjelasan pasal 48 disebutkan bahwa upaya administrasi adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum perdata apabila tidak puas terhadap suatu KTUN. Dalam hal penyelesaiannya itu harus dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan, maka prosedur tersebut dinamakan banding administrasi. Dalam hal penyelesaiannya KTUN tersebut harus dilakukan sendiri oleh badan atau pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan itu, maka prosedur yang ditempuh tersebut disebut keberatan.
Dalam IV tentang upaya administratif (pasal 48 beserta penjelasannya) angka 2 huruf a dan b deri surat edaran Mahkamah Agung nomor 2 tahun 1991 tentang petunjuk pelaksanaan beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menyebutkan :
a. Apabila peraturan dasarnya hanya menentukan adanya upaya administratif berupa pengajuan surat keberatan,maka gugatan terhadap KTUN yang bersangkutan di ajukan PTUN
b. Apabila peraturan dasarnya menetukan adanya upaya administratif berupa pengajuan surat keberatan dan atau mewajibkan pengajuan surat banding administratif, maka gugatan terhadap KTUN yang tellah di putuskan dalam tingkat banding administratif diajukan langsung kepada PTTUN dalam tingkat pertama yang berwenang.
Dengan demikian, ketentuan pasal 51 ayat (3) yang menyebutkan bahwa PTTUN bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan ditingkat pertama sengketa TUN sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 48, apabila sengketa itu telah diputuskan dalam tingkat banding administratif, sedangkan apabila upaya administratif yang tersedia hanya berupa keberatan, maka gugatan KTUN yang diputuskan dalam tingkat upaya keberatan tersebut tidak dapat diajukan tidak langsung kepada PPTUN,tetapi kepada PTUN.
Perbedaan antara upaya administratif dan PTUN adalah bahwa PTUN hanyalah memeriksa dan menilai dari segi hukumnya saja(rechmatigheid). Sedangkan penilaian dalam segi kebijaksanaan bukan menjadi wewenang PTUN (doelmatigheid). Pemeriksaan melalui upaya administratif, badan TUN selain berwenang menilai segi hukumnya, juga berwenang menilai segi kebijaksanaannya. Dengan demikian penyelesaian sengketa melalui upaya administratif menjadi lebih engkap. Tetapi, penilaian secara lengkap tersebut tidak termasuk dalam prosedur banding. Pada prosedur banding,badan TUN hanya melakukan penilaian dari segi hukumnya saja.tersedia atau tidaknya upaya administratif terhadap sesuatu KTUN itu ditentukan oleh sesuatu peraturan perundang-undangan. Keberatan atau pengaduan yang tidak ada dasar hukumnya tidaklah dapat disebut sebagai usaha menyelesaikan sengketa TUN melalui upaya administratif.
BAB 5
Gugatan ke PTUN
A. Alasan Mengajukan Gugatan
Pasal 53 ayat (2) UU PTUN menyebutkan ada tiga alasan menggugat suatu KTUN ke Pengadilan tata usaha negara, yaitu :
a. KTUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Badan atau pajabat TUN pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut.
c. Badan atau pejabat TUN pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak mengambil keputusan tersebut.
Setelah berlakunya UU PTUN-04, maka alasan mengajukan gugatan ke peradilan TUN menurut ketentuan pasal 53 UU PTUN-04 adalah sebagai berikut :
1. Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh sesuatu KTUN dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar KTUN yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau direhabilitasi.
2. Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) adalah :
a. KTUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan peundang-undangan yang berlaku.
b. KTUN yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Menurut penjelasan pasal 3 undang-undang nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (UUPNBBKKN) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan asas-asas tersebut adalah sebagai berikut :
1. Asas kepastian hukum
Adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara
2. Asas tertib penyelenggaraan negara
Adalah asas yang menjadikan landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
3. Asas kepentingan umum
Adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
4. Asas keterbukaan
Adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rasia negara.
5. Asas proporsonalitas
Adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara.
6. Asas profesionalitas
Adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Asas akuntabilitas
Asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akibat dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
B. Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan
Tenggang waktu untuk mengajukan gugatan dalam pasal 55 UU PTUN disebutkan :
Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya keputusan badan atau pejabat TUN.
Tenggang waktu untuk mengajukan gugatan sembilan puluh hari tersebut dihitung secara bervariasi :
a. Sejak hari diterimanya KTUN yang di gugat itu memuat nama penggugat.
b. Setelah lewatnya tenggang waktu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang memberikan kesempatan kepada administrasi negara untuk memberikan keputusan, namun ia tidak berbuat apa-apa.
c. Setelah lewat 4 (empat) bulan, apabila peraturan perundang-undangan tidak memberikan kesempatan kepada administrasi negara untuk memberikan keputusan dan ternyata ia tidak berbuat apa-apa.
d. Sejak hari pengumuman apabila KTUN itu harus diumumkan.
C. Syarat-syarat Gugatan
Dalam pasal 56 UU PTUN disebutkan bahwa syarat-syarat gugatan adalah :
1. Gugatan harus memuat :
a. Nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat atau kuasa hukumnya.
b. Nama jabatan, dan tempat kedudukan penggugat.
c. Dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh pengadilan.
2. Apabila gugatan dibuat dan ditanda tangani oleh seorang kuasa penggugat, maka gugatan harus disertai surat kuasa yang sah.
3. Gugatan sedapat mungkin juga disertai KTUN yang disengketakan penggugat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan pasal 56 ayat 1 UU PTUN syarat-syarat gugatan adalah harus memuat, identitas para pihak, fundamentum petendi atau posita,dan petitum.
D. Tuntutan dalam Gugatan
Berdasarkan ketentuan pasal 53 ayat 1 UU PTUN, maka tuntutan dalam gugatan (petitum) yang dapat diajukan oleh penggugat ke PTUN adalah sebagai berikut :
Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar KTUN yang bersengketa itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau direhabilitasi.
Ketentuan pasal 53 ayat 1 UU PTUN tersebut diatas, juga harus dikaitkan dengan pasal 3 UU PTUN tentang KTUN negatif dan pasal 117 ayat 2 tentang tuntutan sejumlah uang atau kompensasi. Dari situ akan diperoleh perihal tuntutan apa saja yang dapat diajukan dalam gugatan :
1. Tuntutan agar KTUN yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN itu dinyatakan batal atau tidak sah, atau
2. Tuntutan agar badan atau pejabat TUN yang digugat untuk mengeluarkan KTUN yang dimohonkan penggugat, dengan atau tanpa
3. Tuntutan ganti rugi dan atau
4. Tuntutan rehabilitasi dengan atau tanpa kompensasi
E. Permohonan Beracara dengan Cuma-Cuma
Ketentuan ini diatur dalam pasal 60 dan 62 UU PTUN yang menyebutkan sebagai berikut :
Pasal 60
1. Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan untuk bersengketa dengan Cuma-Cuma.
2. Permohonan diajukan pada waktu penggugat mengajukan gugatannya disertai surat keterangann tidak mampu dari kepala desa atau lurah ditempat kediaman pemohon.
3. Dalam keterangan tersebut harus dinyatakan bahwa pemohon itu betul-betul tidak mampu membayar biaya perkara.
Pasal 62
1. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam pasal 60 harus diperiksa dan ditetapkan oleh pengadilan sebelum pokok sengketa diperiksa.
2. Penetapan ini di ambil di tingkat pertama dan terakhir.
3. Penetapan pengadilan yang telah mengabulkan permohonan penggugat untuk bersengketa dengan Cuma-Cuma ditingkat pertama, juga berlaku ditingkat banding dan kasasi.
BAB 6
Acara Pemeriksaan di PTUN
A. Pemeriksaan dengan Acara Singkat
Pemeriksaan dengan acara singkat di PTUN dapat dilakukan apabila terjadi perlawanan (verset) atas penetapan yang diputuskan oleh ketua pengadilan dalam rapat permusyawaratan. Dalam pasal 62 UU PTUN,disebutkan :
1. Dalam rapat permusyawaratan, ketua pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatana yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar dalam hal :
a. Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang pengadilan
b. Syarat-syarat gugatan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberitahu dan diperingatkan.
c. Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak.
d. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh KTUN yang digugat.
e. Gugatan di ajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.
(2) a. Penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan dengan memanggil kedua belah pihak untuk mendengarkannya.
b. Pemanggilan kedua belah pihak dilakukan dengan surat tercatat oleh panitera pengadilan atas perintah ketua pengadilan.
(3) a. Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat diajukan perlawanan kepada pengadilan dalam tenggang waktu empat belas hari setelah diucapkan.
b. perlawanan tersebut diajukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 56.
(4) perlawanan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (3) diperiksa dan diputus oleh pengadilan dengan acara singkat.
(5) Dalam hal perlawanan tersebut dibanarkan oleh pengadilan maka penetapan sebagaiman yang dimaksud dalam ayat (1) gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa.
(6) Terhadap putusan mengenaiperlawanan itu tidak dapat digunakan upaya hukum.
Pemeriksaan dengan acara singkat ini memiliki beberapa kelebihan sekaligus kelemahan-kelemahan. Kelebihannya adalah dapat mengatasi berbagai rintangan yang akan mungkin menjadi penghalang dalam penyelesaian secara cepat sengketa-sengketa TUN, dapat mengatasi arus masuknya perkara-perkara yang sebenarnya tidak memenuhi syarat, dan dapat dihindarkan pemeriksaan perkara-perkara menurut acara biasa yang tidak perlu dan yang akan memakan waktu dan biaya. Kelemahannya adalah jangka waktu empat belas hari mengajukan perlawanan, terhitung sejak penetapan dissmisal itu diucapkan dapat menjadi tidak realistis, karena dapat saja pada waktu penetapan itu diucapkan berhalangan hadir, berada di luar kota atau karena hal-hal yang lain. Disamping itu, putusan gugatan perlawanan atas penetapan ketua pengadilan itu tidak dapat digunakan upaya hukum, kecuali mengajukan gugatan baru, sepanjang tenggang waktu yang ditentukan belum habis.
B. Pemeriksaan Persiapan
Setelah melalui tahap rapat permusyawaratan, maka dilakukan pemeriksaan persiapan persiapan terhadap gugatan yang diajukan oleh penggugat. Dalam pasal 63 UU PTUN disebutkan sebagai berikut :
1. Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas.
2. Dalam pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hakim :
a. Wajib memberikan nasihat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapinya dengan data yang diperlukan dalam waktu tiga puluh hari.
b. Dapat meminta penjelasan kepada badan atau pejabat TUN yang bersangkutan.
3. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana di maksud dalam ayat (2) huruf a penggugat belum menyempurnakan gugatan, maka hakim menyatakan dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima.
4. Terhadap putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak dapat digunakan upaya hukum, tetapi dapat diajukan gugatan baru.
Lebih lanjut tentang pemeriksaan persiapan dalam angka III SEMA Nomor 2 Tahun 1991, disebutkan :
1. Tujuan pemeriksaan adalah untuk mematangkan perkara.
Segala sesuatau yang akan dilakukan dari jalan pemeriksaan persiapan tersebut diserahkan kepada kearifan dan kebijaksanaan ketua majelis.
Oleh karena itu dalam pemeriksaan persiapan memanggil penggugat untuk menyempurnakan gugatannya dan atau tergugat diminta keterangan/penjelasan tentang keputusan yang digugat, tidak selalu harus didengar secara terpisah (pasal 63 ayat 2 a dan b).
2. (a). Pemeriksaan persiapan dilakukan di ruangan musyawarah dalam sidang tertutup untuk umum, tidak harus di ruangan sidang bahkan dapat pula dilakukan dalam kamar kerja hakim tanpa memakai toga.
(b). Pemeriksaan persiapan dapat pula dilakukan oleh hakim anggota yang di tunjuk oleh ketua majelis sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh ketua majelis.
(c). Maksud pasal 63 ayat (2) b tidak terbatas hanya kepada badan/pejabat TUN yang digugat, tetapi boleh juga terhadap siapa saja yang bersangkutan dengan data-data yang diperlukan untuk mematangkan perkara itu.
3. (a). Dalam tahap pemeriksaan persiapan maupun selama pemeriksaan di muka persidangan yang terbuka untuk umum dapat dilakukan pemeriksaan setempat.
(b). Dalam melakukan pemeriksaan setempat tidak perlu harus dilaksanakan oleh majelis lengkap, cukup oleh seorang hakim anggota yang khusus ditugaskan untuk melakukan pemeriksaan setempat. Penugasan tersebut dituangkan dalam bentuk penetapan.
(c). Apabila dipandang perlu untuk menentukan dikabulkan atau tidaknya dikabulkan permohonan penundaan itu, oleh majelis yang bersangkutan dapat pula mengadakan pemeriksaan setempat.
4. Majelis hakim myang menangani suatu perkara berwenang sepenuhnya untuk memberikan putusannya terhadap perkara tersebut, termasuk pemberian putusan menyatakan gugatan penggugat tidak diterima untuk seluruhnya atau sebagian gugatan, meskipun perkara itu telah lolos dari dismissal proses.
C. Pemeriksaan Permohonan Penangguhan Pelaksanaan KTUN
Permohonan penangguhan pelaksanaan KTUN diatur dalam pasal 67 UU PTUN, yang menyebutkan sebagai berikut :
1. Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya keputusan badan atau pejabat Tun serta tindakan badan atau pejabat TUN yang digugat.
2. Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan KTUN itu ditunda selama pemeriksaan sengketa TUN sedang berjalan, sampai ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
3. Permohonan sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat diajukan sekaligus dalam gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok sengketanya.
4. Permohonan permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat(2) :
a. Dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat mendesakyang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika KTUN yang digugat itu tetap dilaksanakan.
b. Tidak dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalam rangka pembangunan mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut.
Lebih lanjut tentang penundaan pelaksanaan KTUN yang digugat dalam angka IV SEMA nomor 2 tahun 1991, disebutkan bahwa :
1. Setiap tindakan prosesual persidangan dituangkan dalam bentuk “penetapan”, kecuali putusan akhir yang harus berkepala “putusan”
2. Penundaan yang dimaksud dalam pasal 67 ayat (4) sub a dan b dapat dikabulkan dalam 3 (tiga) tahapan prosesual, yaitu :
a. Selama permohonan penundaan tersebut masih ditangan ketua, penundaan dilakukan oleh ketua dan ditanda tangani oleh ketua dan panitera/wakil panitera.
b. Setelah berkas perkara diserahkan kepada majelis, maka majelispun dapat mengeluarkan penetapan penundaan tersebut baik selama proses itu berjalan, setelah mendengar kedua belah pihak, meupun pada putusan akhir,ditandatangani oleh ketua majelis dan panitera,kecuali pada putusan akhir harus ditandatangani oleh majelis lengkap.
c. Pencabutan penetapan penundaan yang dimaksud, dapat dilakukan :
- Selama perkara masih ditangan ketua, dilakukan oleh ketua sendiri, kecuali putusan akhir yang harus ditandatangani oleh ketua majelis dan panitera pengganti.
- Apabila perkara sudah ditandatangani majelis,pencabutannya dapat dilakukan majelis yang bersangkutan.
d. Baik pengabulan penundaan KTUN yang digugat maupun pencabutannya dilakukan dengan menuangkannya dalam bentuk penetapan, kecuali yang dituangkan dalam putusan akhir.
e. Di dalam formulir penetapan pengabulan penundaan yang dilakukan oleh ketua tersebut ditambahkan anak kalimat “kecuali ada penetapan lain di kemudian hari”.
3. Cara penyampaian penetapan penundaan tersebut, mengingat sifatnya yang sangat mendesak itu dapat dilakukan dengan cara pengiriman telegram /telex ataupun dengan kurir agar secepatnya sampai kepada yang bersangkutan. Hal ini adalah pengecualian dari maksud pasal 116. Dalam hal pengiriman dengan telegram/telex, cukup extract penetapannya saja yang kemudian harus disusul dengan pengiriman penetapannya via pos.
4. Apabila ada penetapan penundaandimaksudkan yang tidak dipatuhi oleh tergugat, maka ketentuan pasal 116 ayat (4), (5), dan (6) dapat dijadikan pedoman dan dengan menyampaikan tembusannya kepada ketua MA, Menteri Kehakiman, Menteri Pendayaan Aparatur Negara.
D. Pemeriksaan dengan Acara Cepat
Pemeriksaan dengan acara cepat diatur dalam pasal 98 dan 99 UU PTUN, yang menyebutkan:
1. Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya, penggugat dalam gugatannya dapat memohon kepada pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat.
2. Ketua pengadilan dalam jangka waktu empat belas hari setalah diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalma ayat (1) mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut.
3. Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud ayat (2) tidak dapat digunakan upaya hukum.
Selanjutnya dalam pasal 99 UU PTUN disebutkan sebagai berikut :
1. Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan dengan hakim tunggal.
2. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam pasal 98 ayat (1) dikabulkan, ketua pengadilan dalam jangka waktu tujuh hari setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 98 ayat (2) menentukan hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 63.
3. Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak, masing-masing ditentukan tidak melebihi empat belas hari.
E. Pemeriksaan dengan Acara Biasa
pemeriksaan sengketa dengan acara biasa diatur dalam pasal 68 sampai dengan pasal 97 UU pTUN. Dari pasal-pasal tersebut yang perlu dikemukakan disini berkaitan dengan pemeriksaan sengketa dengan acara biasa dilakukan dengan majelis hakim (tiga orang hakim). Hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum, kecuali menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara, persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk umum.
Bab 7
Pembuktian
A. Alat-alat Bukti
Dalam pasal 100 sampai dengan 106 UU PTUN disebutkan alat-alat bukti yang dapat diajukan dalam hukum acara PTUN :
a. Surat atau tulisan
b. Keterangan ahli
c. Keterangan saksi
d. Pengakuan para pihak
e. Pengetahuan hakim
1. Surat atau Tulisan
Surat sebagai alat bukti terdiri atas tiga jenis yaitu :
a. Akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat ini dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum yang tercantum didalamnya.
b. Akta dibawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan mmaksud untuk dapat dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang terantum didalamnya.
c. Surat-surat lain yang bukan akta.
2. Keterangan Ahli
Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan dibawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya. Seorang yang tidak boleh didengar sebagai saksi berdasarkan pasal88 UU PTUN tidak boleh memberikan keterangan ahli. Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya hakim ketua sidang dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli.
3. Keterangan Saksi
Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atu didengar oleh saksi sendiri.
Dalam pasal 88 UU PTUN disebutkan yang tidak boleh menjadi saksi adlah :
a. Keluarga sedarah atau samenda menurut garis lurus keatas atau kebawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa.
b. Isteri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa, meskipun sudah bercerai.
c. Anak yang belum berusia tujuh belas tahun.
d. Orang sakit ingatan.
Sedangkan berdasarkan pasal 89 UU PTUN disebutkan bahwa orang yang dapat minta pengunduran diri dari kewajiban untuk memberikan saksi adalah :
a. Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak.
b. Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat, pekerjaannya dan jabatannya itu.
4. Pengakuan Para Pihak
Pengakuan para pihak tdak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan kuat dan dapat diterima oleh hakim. Pengakuan adlah merupakan keteranagn yang membenarkan peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh pihak lawan dengan maksud untuk segera menyelesaikan perkara. Dengan demikian pengakuan dapat menjadi alat bukti yang sempurna.
Pengakuan dimuka hakimpersidangan merupakan keterangan sepihak, baik secara tertulis maupun lisan yang tegas dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara di persidangan, yang membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya, yang mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim yang tidak perlu lagi.
Pengakuan diluar sidang ialah keterangan yang diberikan oleh salah satu pihak daLam suatu perkara perdata di luar persidangan untuk membenarkan pernyataan-pernyataan yang diberikan oleh lawannya.
5. Pengeahuan Hakim
Pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. Penegtahuan hakim oni harus obyektif, tidak berpihak pada salh satu pihak, sehingga pengetahuan hakim tersebut dipergunakan oleh hakim untuk kepentingan salah satu pihak saja, dengan berlindung dibalik alat bukti pengetaun hakim itu. Untuk menjaga keobyektifan pengetahuan hakim ini, maka pengatahuan hakim ini tidak boleh menyampingkan alat-alat bukti yang lain.
B. Beban Pembuktian
Dalam pasal 107 UU PTUN disebutkan bahwa hakim menetukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim.
Hakim PTUN dapat menentukan sendiri :
a. Apa yang harus dibuktikan
b. Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus di buktikan oleh hakim sendiri.
c. Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian.
d. Kekuatan pembuktian bukti yang diajukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar