selamat datang





Kamis, 16 Februari 2012

Asal Usul Martabak Lebaksiu

Pada sekitar awal tahun 1930-an, beberapa pemuda asal daerah Lebaksiu Kabupaten Tegal mengadu nasib dengan berjualan makanan atau mainan anak-anak dan lain-lain pada setiap ada perayaan di kota-kota besar, seperti kota Semarang, Jogja dan kota-kota besar lainnya. Di kota Semarang inilah salah seorang pemuda yang bernama Ahmad bin Kyai Abdul Karim berkenalan dengan seorang pemuda berasal dari negeri India bernama Abdullah bin Hasan Almalibary. Dari hasil persahabatan mereka, Abdullah diajak berkunjung ke kampung halaman Ahmad di desa Lebaksiu Kidul kecamatan Lebaksiu Kabupaten Tegal Jawa Tengah. Di sana Abdullah berkenalan pula dengan adik perempuan Ahmad yang bernama Masni binti Kyai Abdul Karim. Singkat cerita, pada tahun 1935 Abdullah mempersunting Masni, adik perempuan Ahmad. Abdullah atau biasa disebut Tuan Duloh ternyata merupakan seorang saudagar/pengusaha dengan salah satu keahliannya adalah membuat makanan yang terbuat dari adonan terigu yang bernama Martabak.

Ia merupakan salah satu diantara pemuda-pemuda India yang berhasil membuat perubahan atau modifikasi Martabak dari aslinya. Menurut narasumber yang dapat dipercaya, perubahan atau modifikasi martabak ini disesuaikan dengan cita rasa maupun kebiasaan masyarakat di Indonesia khususnya di Tanah Jawa yang pada umumnya gemar makan sayur-sayuran dan tidak terlalu suka mengkonsumsi daging berlebihan. Adalah suatu kenyataan bahwa martabak yang dibuat oleh Abdullah, ternyata sangat berbeda dengan martabak asli dari India. Sampai sekarang ini, jenis Martabak telor yang beredar hampir diseluruh pelosok Indonesia, adalah merupakan hasil modifikasi dari yang aslinya. Martabak terang bulan/martabak manis. Konon menurut kisah disebut terang bulan, karena bentuknya bulat seperti bulan purnama. Keahlian Abdullah diajarkan kepada kerabat dekat istrinya maupun tetangga-tetangganya. Tercatatlah nama-nama sebagai berikut :
  1. Ahmad bin Kyai Abdul Karim (Alm)
  2. Abdul Manaf bin Kyai Abdul Karim (Alm)
  3. Abdul Wahid bin Kyai Abdul Karim
  4. Mawardi bin Kyai Abdul Karim
  5. Rifai bin Kyai Abdul Karim (Alm)
  6. Djari (Haji Umar) bin Haji Mas’ud (Alm)
  7. Maktub bin Haji Mas’ud (Alm)
  8. Dja’i bin Haji Sueb (Alm)
  9. Ali bin Haji Sueb (Alm)
  10. Rumli bi Sanadi (Alm)
  11. Tamyid
  12. Tuwuh

Dan masih banyak lagi nama-nama yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Ini adalah merupakan generasi kedua setelah Abdullah. Abdullah bersama merekalah yang memperkenalkan martabak pada setiap ada keramaian di pasar-pasar malam di kota-kota besar khususnya di pulau jawa. Keramaian-keramaian seperti Sekatenan di Jogjakarta, Dugderan di Semarang, Mauludan di Cirebon-Trusmi, dan pasar malam di pabrik-pabrik tebu pada perayaan permulaan giling (metik).

Bisnis-bisnis Abdullah yang ditekuninya sekitar tahun 1935-1955 antara lain : Rumah Makan India Moslem di Slawi, Meubeler di Lebaksiu dan pengelola dibeberapa pasar malam. Pada kurun waktu yang hampir bersamaan, tercatat pula rekan-rekan Abdullah diantaranya adalah Tuan Hasan di Semarang yang turut mempopulerkan martabak di Lebaksiu melalui murid-muridnya [(Maksud (alm), Mali (alm), Tabud (alm)]. Selain Tuan Hasan di Semarang, tersebut pula nama-nama rekan-rekan Abdullah dari India yaitu Tuan Muhammad di Yogya, Tuan Haji Sayeed Ali di Jakarta, Tuan Salam di Jakarta, dan masih banyak nama-nama lain.

Ketika rekan-rekan Abdullah memilih tinggal di kota-kota besar, tidak demikian halnya dengan Abdullah yang memilih tinggal di salah satu kampung bernama Lebaksiu Kidul Kab. Tegal yang berjarak sekitar 21 km arah selatan kota Tegal bersama isteri dan anak-anaknya. Perkembangan Martabak di Indonesia pada kurun waktu sekitar 1950-1990, tercatatlah nama-nama tokoh dari kota-kota sebagai berikut : Tegal, Jakarta, Bogor, Bandung, Cianjur, Yogyakarta, Makassar, Manado, Pontianak, Singkawang, Banjarmasin, Semarang, Palembang, Bekasi, Kuningan, Tangerang, Sampit, Bontang, Jayapura, Mataram, Denpasar, Kupang, Tasikmalaya, Pekanbaru, dan Bukit Tinggi.
Itulah generasi kedua dan ketiga, pada generasi keempat, sekarang telah menyebar keseluruh pelosok Indonesia. Menu dagangannya pun tidak hanya martabak saja namun beberapa jajanan yang lain, antara lain : donat, onde-onde, pukis, pisang goreng, gandasturi, tahu goreng, ayam goreng, dan aneka macam makanan dan jajanan.
Untuk luar negeri seperti Jeddah, Saudi Arabia, para tokoh-tokohnya adalah : Haji Adnan Sowi, Haji Kana, Haji Mustakim, Haji Agus Warto, Haji Zainudin bin Ahmad, Haji Syaiful Bahri, Haji Humaedi, dan rekan-rekan lainnya.
Tokoh-tokoh wanita (Srikandi) Lebakksiu:
  1. Ibu Saimah Marjen
  2. Ibu Hajjah Mary Wahid
Namun demikian, sejarah martabak Lebaksiu dapat berkembang pesat seperti sekarang ini tidak terlepas dari dukungan moril maupun materil dari tokoh-tokoh Lebaksiu non martabak seperti:
  1. Tabri (Mantan Lurah Lebaksiu Lor)
  2. H. Ikna Tjokroharsono
  3. H. Bahrun (Mantan Lurah Lebaksiu Lor)
  4. KH. Samlawi (Mantan Lurah Lebaksiu Kidul)
  5. KH.Mafhud Thoha
  6. Kamali rusbad (PLN)
  7. Bang Ahmad (Mantan Lurah Kajen)
  8. H. DJubaidi Ahmad Baedowi (PLN)
  9. Drs. H. imam Sofwan
  10. Drs. Kaprawi
  11. Pandi (Gang Tongkang) Jakarta
  12. Drs. H. Bachruddin Nasori, Msi
  13. H. Ali DJured
  14. Khozin Tamjid
  15. H. Abdul Malik Tamjid
  16. Ir. H. Ismaun Tjokroharsono
  17. Marjono (Yon Kav)

Abdullah bin Hasan Almalibary lahir di daerah Payoli, Distric Meladi, Kerala State South of India pada tahun 1901 meninggal dunia pada 1956 dan dimakamkan di desa Lebaksiu Kidul Kecamatan Lebaksiu Kabupaten Tegal Jawa Tengah. Meninggalkan seorang isteri dua anak laki dan dua anak perempuan, isterinya bernama Masni ( Hajjah Hasanah Masni ) binti Kyai Abdul Karim, lahir di Lebaksiu Kidul tahun 1918 dan meninggal dunia pada tahun 2000.
Apabila ilmu membuat martabak adalah sebuah ilmu yang bermanfaat (Al-‘Ilmun-nafi’) dan berguna bagi kemaslahatan umat, maka dengan mengharap ridho Allah Subhanahu wa Ta’ala semoga Abdullah bin Hasan Almalibary beserta pengikut-pengikutnya diterima amal ibadahnya dan diampuni dosa-dosanya. Amin.
Narasumber:
  • Abdul Wahid bin Kyai Abdul Karim (85 tahun),
  • Mawardi bin Kyai Abdul Karim (80 tahun),
  • H. Abdul Kadir Bayasut (80 tahun),
  • H. Katikaren Abdul Kadir (80 tahun), dan beberapa tokoh-tokoh lainnya membenarkan kisah tersebut diatas.

Generasi Tertua Pengerajin Martabak Lebaksiu Tegal
Yang Masih Ada Sampai Sekarang


data update tanggal : 19 September 2010

Tiga Generasi Kakek, Anak, dan Cucu

(dari kiri ke kanan)
Abdul Wahid bin Ky. Abdul Karim (1922)
H. Abdul Ghofur bin Abdul Wahid (1945)
Hafidz bin H. Abdul Ghofur (1980)

Generasi yang lain :

Mashuri
Mudhakir (1934) Posisi Tengah
Khasan bin Barda’i (75) Ke-2 dari Kiri, H. Dakam (80) Ke-3 dari Kiri , Makbul bin Tamyid (70) Ke-4 dari Kiri

Esensi Lembaga Pemasyarakatan sebagai Wadah Pembinaan Narapidana

BAB I

PENDAHULUAN





A. Latar Belakang

Adanya model pembinaan bagi narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan tidak terlepas dari sebuah dinamika, yang bertujuan untuk lebih banyak memberikan bekal bagi Narapidana dalam menyongsong kehidupan setelah selesai menjalani masa hukuman (bebas). Seperti halnya yang terjadi jauh sebelumnya, peristilahan Penjara pun telah mengalami perubahan menjadi pemasyarakatan. Tentang lahirnya istilah Lembaga Pemasyarakatan dipilih sesuai dengan visi dan misi lembaga itu untuk menyiapkan para narapidana kembali ke masyarakat. Istilah ini dicetuskan pertama kali oleh Rahardjo, S.H. yang menjabat Menteri Kehakiman RI saat itu.

Pemasyarakatan dinyatakan sebagai suatu sistem pembinaan terhadap para pelanggar hukum dan sebagai suatu pengejawantahan keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan antara Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat.

Dalam perkembangan selanjutnya Sistem Pemasyarakatan mulai dilaksanakan sejak tahun 1964 dengan ditopang oleh UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. UU Pemasyarakatan itu menguatkan usaha-usaha untuk mewujudkan suatu sistem Pemasyarakatan yang merupakan tatanan pembinaan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan. Dengan mengacu pada pemikiran itu, mantan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin mengatakan bahwa pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan yang dilakukan oleh negara kepada para narapidana dan tahanan untuk menjadi manusia yang menyadari kesalahannya.

Selanjutnya pembinaan diharapkan agar mereka mampu memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya. Kegiatan di dalam LP bukan sekedar untuk menghukum atau menjaga narapidana tetapi mencakup proses pembinaan agar warga binaan menyadari kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan.

Dengan demikian jika warga binaan di LP kelak bebas dari hukuman, mereka dapat diterima kembali oleh masyarakat dan lingkungannya dan dapat hidup secara wajar seperti sediakala. Fungsi Pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan yang ada di dalam LP.

Tentu saja hal ini sangat kontradiktif apabila dibandingkan dengan visi dan misi pemasyaratan sebagai tempat pembinaan narapidana, agar keberadaannya dapat diterima kembali oleh masyarakat sewaktu bebas. Perlu bagi kita untuk sejenak melihat kembali tujuan pengadaan Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat untuk membina dan menyiapkan seorang narapidana menjadi “lurus” dan siap terjun kembali ke masyarakatnya kelak. Apakah selama ini pola dan cara pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan sudah sampai pada tujuannya? Apakah bukannya pola pembinaan di LP itu malah membekali si narapidana akan kelak lebih profesional? Butuh pemikiran bersama dalam mengurai benang kusut di balik jeruji besi selama ini.



B. Perumusan Masalah



Berdasarkan uraian diatas, mengerucut beberapa pertanyaan yang menjadi kerangka pemikiran penulis untuk menyusun makalah ini :

1. Unsur apa saja yang dapat mempengaruhi pembinaan narapidana?

2. Bagaimanakah dukungan terhadap proses pembinaan narapidana dalam pemasyarakatan, apakah sudah sesuai dengan kebutuhan konsep pemasyarakatan itu sendiri?

3. Jika tidak sesuai, apa faktor penghambatnya dan bagaimanakah solusi yang dapat dilakukan?



BAB II

PEMBAHASAN





A. Proses Pembinaan Narapidana dalam Sistem Pemasyarakatan

Departemen Hukum dan HAM sebagai payung sistem pemasyarakatan Indonesia, menyelenggarakan sistem pemasyarakatan agar narapidana dapat memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga narapidana dapat diterima kembali dalam lingkungan masyarakatnya, kembali aktif berperan dalam pembangunan serta hidup secara wajar sebagai seorang warga negara.

Saat seorang narapidana menjalani vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan, maka hak-haknya sebagai warga negara akan dibatasi. Sesuai UU No.12 Tahun 1995, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Walaupun terpidana kehilangan kemerdekaannya, tapi ada hak-hak narapidana yang tetap dilindungi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia.

Setelah proses pembinaan telah berjalan selama 2/3 masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 bulan, maka pembinaan dalam tahap ini memasuki pembinaan tahap akhir. Pembinaan tahap akhir yaitu berupa kegiatan perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan selesainya masa pidana. Pada tahap ini, bagi narapidana yang memenuhi syarat diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat. Pembinaan dilakukan diluar Lapas oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS) yang kemudian disebut pembimbingan Klien Pemasyarakatan.

B. Identifikasi Sarana dan Prasarana Pendukung Pembinaan



Dalam proses pembinaan narapidana oleh Lembaga Pemasyarakatan dibutuhkan sarana dan prasarana pedukung guna mencapai keberhasilan yang ingin dicapai. Sarana dan prasarana tersebut meliputi :



1. Sarana Gedung Pemasyarakatan

Gedung Pemasyarakatan merupakan representasi keadaan penghuni di dalamnya. Keadaan gedung yang layak dapat mendukung proses pembinaan yang sesuai harapan. Di Indonesia sendiri, sebagian besar bangunan Lembaga Pemasyarakatan merupakan warisan kolonial, dengan kondisi infrastruktur yang terkesan ”angker” dan keras. Tembok tinggi yang mengelilingi dengan teralis besi menambah kesan seram penghuninya.



2. Pembinaan Narapidana

Bahwa sarana untuk pendidikan keterampilan di Lembaga Pemasyarakatan sangat terbatas, baik dalam jumlahnya maupun dalam jenisnya, dan bahkan ada sarana yang sudah demikian lama sehingga tidak berfungsi lagi, atau kalau toh berfungsi, hasilnya tidak memadai dengan barang-barang yang diproduksikan di luar (hasil produksi perusahan).



3. Petugas Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan

Berkenaan dengan masalah petugas pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, ternyata dapat dikatakan belum sepenuhnya dapat menunjang tercapainya tujuan dari pembinaan itu sendiri, mengingat sebagian besar dari mereka relatif belum ditunjang oleh bekal kecakapan melakukan pembinaan dengan pendekatan humanis yang dapat menyentuh perasaan para narapidana, dan mampu berdaya cipta dalam melakukan pembinaan.



C. Paradigma Sistem Pembinaan Narapidana



Ironis, hampir seluruh tindak kejahatan yang ditangani oleh Sistem Peradilan Pidana Indonesia selalu berakhir di penjara. Padahal penjara bukan solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah-masalah kejahatan, khususnya tindak kejahatan di mana “kerusakan” yang ditimbulkan oleh tindak kejahatan tersebut masih bisa di restorasi sehingga kondisi yang telah “rusak” dapat dikembalikan menuju keadaan semula, di mana dalam keadilan restoratif mi dimungkinkan adanya penghilangan stigma dari individu pelaku. Dalam menyikapi tindak kejahatan yang dianggap dapat direstorasi kembali, dikenal suatu paradigma penghukuman yang disebut sebagai restorative justice, di mana pelaku kejahatan didorong untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya kepada korban, keluarganya dan juga masyarakat. Berkaitan dengan kejahatan yang kerusakannya masih bisa diperbaiki, pada dasarnya masyarakat menginginkan agar bagi pelaku diberikan “pelayanan” yang bersifat rehabilitatif. Masyarakat mengharapkan para pelaku kejahatan akan menjadi lebih baik dibanding sebelum mereka masuk kedalam institusi penjara, inilah yang dimaksud proses rehabilitasi.



Kebutuhan dan keselamatan korban menjadi perhatian yang utama dari proses restorative justice. Korban harus didukung dan dapat dilibatkan secara langsung dalam proses penentuan kebutuhan hasil akhir dari kasus tindak pidana yang dialaminya. Namun dengan demikian bukan berarti kebutuhan pelaku tindak pidana diabaikan. Pelaku tindak pidana harus direhabilitasi dan di-reintegrasikan ke dalam masyarakat. Konsekuensi dari kondisi mi mengakibatkan perlunya dilakukan pertukaran informasi antara korban dan pelaku tindak pidana secara langsung dan terjadinya kesepakatan yang saling menguntungkan di antara keduanya sebagai hasil akhir dari tindak pidana yang terjadi.



D. Perwujudan Konkret Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial



Teori rehabilitasi dan reintegrasi sosial mengembangkan beberapa program kebijakan pembinaan narapidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Program kebijakan itu meliputi :



1. Asimilasi

Dalam asimilasi dikemas berbagai macam program pembinaan yang salah satunya adalah pemberian latihan kerja dan produksi kepada narapidana.



2. Reintegrasi Sosial

Dalam integrasi sosial dikembangkan dua macam bentuk program pembinaan, yaitu pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas.

a). Pembebasan bersyarat adalah pemberian pembebasan dengan beberapa syarat kepada narapidana yang telah menjalani pidana selama dua pertiga dari masa pidananya, di mana dua pertiga ini sekurang-kurangnya adalah selama sembilan bulan.

b). Cuti menjelang bebas adalah pemberian cuti kepada narapidana yang telah menjalani dua pertiga masa pidanannya, di mana masa dua pertiga itu sekurang- kurangnya sembilan bulan.



BAB III

PENUTUP





A. Kesimpulan



Berdasarkan uraian di atas maka penulis dapat memperoleh kesimpulan sebagai berikut :

Apabila ditinjau melalui tujuan didirikan Lembaga Pemasyarakatan, proses pembinaan yang seharusnya diberikan kepada narapidana belum dapat berjalan. Hal ini disebabkan karena sarana dan prasarana Lembaga Pemasyarakatan yang belum dapat mengakomodir konsep Lembaga Pemasyarakatan sebagai wadah pembinaan narapidana. Selain itu beberapa faktor non-teknis seperti : paradigma tentang narapidana dan wujud pembinaan yang belum sempurna turut memperburuk kondisi pembinaan di pemasyarakatan.



B. Saran



Melihat fenomena pemasyarakatan yang ada cukup memprihatinkan, beberapa hal yang ingin penulis sampaikan adalah :

1. Adanya koordinasi terkait antara pihak kepolisian, kejaksaan, pegawai pemasyarakatan, serta masyarakat dalam membina pelaku kejahatan.

2. Pengadaan sarana dan prasarana yang mendukung proses pembinaan narapidana dalam pemasyarakatan, selain itu diperlukan sistem yang berorientasi pada nasib narapidana ketika bebas dan kembali lagi dalam masyarakat.

3. Pemerintah melalui kekuasaannya diharapkan dapat mengubah paradigma tentang pelaku kejahatan.



DAFTAR PUSTAKA





Hamzah, Andi, 2001, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika



Petrus, Irwan Panjaitan, 1995, Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan



UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan



PP No 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan



www.media-indonesia.com



www.dephumkam.go.id

Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Korupsi

Akhir-akhir ini, ramai dibicarakan tentang pemberian remisi kepada para narapidana koruptor. Pemberian remisi tersebut dianggap tidak memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat. Para koruptor yang sangat dibenci kerena menyengsarakan rakyat, seharusnya dihukum seberat-beratnya, akan tetapi pada kenyataannya, di antara mereka dihukum ringan dan setelah itu bahkan diberi remisi.

Kenyataan itu menjadikan rasa keadilan terganggu. Apalagi, banyak narapidana lain, yang hanya melakukan kesalahan kecil, misalnya mengambil beberapa buah kakau, semangka, seseorang yang diduga mengambil uang majikan yang jumlahnya tidak seberapa, mereka dihukum berat. Sebaliknya, para koruptor yang mengambil uang negara hingga milyaran rupiah ternyata dihukum ringan.

Atas dasar kenyataan tersebut, maka muncullah berbagai pandangan terhadap pemberian remisi, mulai dari yang paling ekstrim, misalnya agar remisi, khususnya kepada para koruptor dihapus. Narapidana koruptor tidak perlu diberi dan harus dihukum seberat-beratnya agar jera. Namun ada juga pendapat sebaliknya, bahwa dalam penerapan hukum tidak boleh diskriminatif. Kebijakan itu akan menyalahi undang-undang. Bahkan dalam alam modern, lembaga penjara seharusnya ditinggalkan, dan diganti dengan lembaga pemasyarakatan.

Lembaga penjara biasanya dimaknai sebagai hukuman, pembalasan, penistaan dan sejenisnya. Sedangkan lembaga pemasyarakatan lebih berorientasi untuk mendidik. Tatkala seseorandimasukkan ke dalam lembaga pemasyarakatan, maka diharapkan pada suatu saat, yang bersangkutan akan menjadi baik kembali. Lembaga pemasyarakatan menjadi semacam lembaga pendidikan atau institusi untuk menjadikan seseorang kembali menjadi lebih baik.



Rasa ketidak-adilan terhadap hukuman para koruptor seringkali terbangun dari kenyataan-kenyataan di masyarakat yang dianggap ganjil. Misalnya, seorang koruptor yang telah keluar dari penjara, ternyata hidupnya masih jauh lebih baik, terhormat, dan bisa melakukan berbagai kegiatan sosial hingga tidak tampak, bahwa yang bersangkutan sebenarnya adalah pernah mendekam di lembaga pemasyarakatan.

Selain itu juga seringkali terdengar rumor bahwa para koruptor juga telah melakukan kalkulasi untung rugi secara cermat. Misalnya, seseorang berani melakukan korupsi hingga milyaran rupiah . Keberanian mengambil uang negara itu didasarkan atas kalkulasi, bahwa sekalipun dihukum, mereka masih merasa diuntungkan. Dari korupsinya, ia mendapatkan uang milyaran rupiah, sementara hanya dihukum beberapa tahun. Padahal jika tidak dihukum dan berada di luar penjara, dengan bekerja apapun tidak akan mendapatkan uang sebesar itu. Dengan demikian, menjalani hukuman dipandang sebagai cara mencari uang atau penghidupan.

Gambaran seperti itu menjadikan lembaga pemasyarakatan tidak terlalu efektif untuk memberantas kejahatan korupsi. Efek jera dan juga penyadaran yang diharapkan dari lembaga itu menjadi tidak sepenuhnya berhasil dicapai. Bahkan menurut berbagai informasi, seseorang yang dimasukkan ke lembaga pemasyarakatan, justru mendapatkan pengetahuan tentang kejahatan dari sesama napi. Selain itu, orang yang dihukum dan apalagi hukuman itu dirasa tidak adil, maka akan menjadikan mereka sakit hati, dendam, permusuhan, kebencian yang tidak mudah dihilangkan.

Untuk mendapatkan keadilan ternyata tidak mudah, tidak terkecuali dalam mengadili kasus-kasus korupsi. Bisa jadi, seseorang dituduh korupsi, hanya karena salah prosedur, difitnah, dan lain-lain. Seseorang pejabat disodori surat oleh bawahannya agar supaya ditanda-tangani. Namun diketahui setelahnya, bahwa ternyata akibat surat itu negara dianggap terugikan, maka pejabat tersebut dinilai melakukan korupsi dan harus dihukum. Padahal secara ekonomi, pejabat dimaksud tidak mendapatkan keuntungan apa-apa. Akan tetapi, bagaimanapun ia dianggap salah, karena menanda tangani surat dimaksud.

Kasus-kasus seperti itu terjadi di berbagai instansi kementerian. Sehingga melahirkan gambaran yang kadang jika dirasakan secara mendalam, sebenarnya tidak memenuhi rasa keadilan. Misalnya ada seorang menteri diajukan ke pengadilan hanya terkait pembelian mesin jahit, sapi, mobil pemadam kebakaran, pengeluaran dana non bajeter dan lain-lain. Hal itu terasa aneh, seorang menteri dihukum dengan alasan kesalahan prosedural, atau terkait dengan urusan sederhana.

Sebagai seorang pejabat tinggi, pada saat-saat tertentu, semestinya diberi kewenangan untuk mengambil kebijakan khusus di luar aturan yang ada. Kalau sesuatu harus dijalankan persis sesuai dengan aturan, maka semestinya tidak perlu mengangkat pejabat seorang yang pintar, cerdas dan berpengalaman, tetapi justru sebaliknya. Dipilihnya orang pintar, cerdas dan berpengalaman sebagai pejabat sebenarnya agar yang bersangkutan dalam mengambil keputusan tidak saja berdasar peraturan, melainkan mempertimbangkan aspek yang lebih luas dari sekedar peraturan itu.
Memperhatikan kenyataan seperti itu, maka sebenarnya di dalam pelaksanaan hukum sendiri, di sana-sini masih terdapat sesuatu yang tidak adil. Seseorang yang karena pengetahuan, kecerdasan, dan pengalamannya, mereka diangkat sebagai pejabat tinggi, namun hanya karena salah prosedur, mereka dihukum. Padahal dengan keadaannya seperti itu, maka harkat dan martabatnya menjadi hancur pada tingkat serendah-rendahnya.

Oleh karena itu, tidak semua orang yang disebut sebagai koruptor selalu telah mendapatkan keuntungan melimpah. Mereka dianggap korupsi, hanya karena kesalahan dalam menjalankan tugas. Tetapi memang, terdapat banyak orang yang disebut koruptor dan benar-benar koruptor. Mereka mengambil uang negara hingga triliyunan rupiah dan membawa lari ke luar negeri. Orang seperti ini, harus dihukum seberat-beratnya dan tidak perlu diberi remisi. Kiranya hal itu semua orangt sepakat. Akan tetapi terhadap seorang menteri, gubernur, bupati, wali kota, anggota DPR yang melakukan kesalahan dalam mengambil keputusan, maka menghukumnya,-----menurut hemat saya, sebagai berlebihan.

Dari pandangan dan penjelasan tersebut, saya hanya ingin menunjukkan bahwa, dalam proses peradilan dan bahkan peraturan yang ada, sebenarnya telah membelenggu pikiran dan kerja kreatif yang seharusnya justru ditumbuh-kembangkan untuk menyelesaikan persoalan bangsa ini. Oleh karena itu, apa yang disebut sebagai penyimpangan, seharusnya tidak boleh dilihat secara hitam putih, termasuk terhadap orang yang disebut sebagai koruptor itu. Bisa jadi mereka terhukum ------dianggap korup, hanya karena menjalankan tugas tidak sesuai dengan prosedur, sekalipun niatnya baik dan mulia.

Saya termasuk orang yang berpandangan bahwa kiorupsi harus diberantas, tetapi saya tidak sampai hati melihat penderitaan pejabat tinggi yang dimasukkan penjara hanya karena persoalan sepele, dan belum tentu secara hakiki salah. Orang seperti ini tidak saja pantas diberi remisi, tetapi juga harus dibebaskan dari penderitaannya dan direhabilitasi nama baiknya. Wallahu a’lam.

Kamis, 09 Februari 2012

hukum acara PTUN

Bab 2
Pengertian, Asas-Asas, Dan Kompetensi PTUN

A.      Pengertian Hukum Acara PTUN
Istilah hukum acara peradilan tata usaha negara masih terdapat peristilahan lain dengan maksud yang hampir sama.contohnya : “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Pemerintahan”, “Hukum Acara Peradilan Administrasi Negara”, dan “Hukum Acara Peradilan Administrasi”.
Menurut Rozali Abdullah, Hukum Acara PTUN adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan Hukum Tata Usaha Negara (Hukum Administrasi Negara).Dengan kata lain hukum yang mengatur tentang cara-cara bersengketa di Peradilan Tata Usaha Negara serta mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak yang terkait dalam proses penyelesaian sengketa tersebut.
Hukum acara PTUN dalam UU PTUN dimuat dalam pasal 53 sampai dengan pasal 141. UU PTUN terdiri atas 145 pasal , dengan demikian komposisi hukum materil dan hukum formilnya adalah; hukum materil sebanyak 56 pasal, sedangkan hukum formilnya sebanyak 89 pasal (atau dengan prbandingan jumlah hukum materil sebanyak 38, 7 persen dan hukum formil sekitar 61, 3 persen dari total jumlah pasal yang ada dalam UU PTUN).

B.      Asas-asas hhhhHukum Acara PTUN
Dengan didasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka secara garis besarnya kita dapat menggali beberapa asas hukum yang terdapat dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara :
1.       Asas praduga rechmatig (vermoeden van rechmatigheid, praesumptio iustae causa). Dengan asas ini setiap tindakan pemerintahan selalu dianggap rechmatig sampai ada penbatalan (lihat pasal 67 ayat (1) UU PTUN).
2.       Asas gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan keputusan tata usaha negara (KTUN) yang dipersengketakan, kecuali ada kepentingan yang mendesak dari penggugat (pasal 67 ayat (1) dan ayat 4 huruf a).
3.       Asas para pihak harus di dengar (audi et alteram partem). Para pihak mempunyai hak yang sama dan harus di perlakukan dan diperhatikan secara adil.
4.       Asas kesatuan  beracara dalam perkara sejenis baik dalam pemerikssaan di peradilan judex facti, maupun kasasi dengan Makamah Agung sebagai puncaknya.
5.       Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman kekuasaan yang merdeka dan bebas dari segala macam campur tangan kekuasaan yang lain baik secara langsung maupun tidak langsung bermaksud untuk mempengaruhi keobyektifan putusan pengadilan.
6.       Asa peradilan dilakukan dengan sederhana,cepat, dan biaya ringan (Pasal 4 UU 14/1970).
7.       Asas hakim aktif
8.       Asas sidang terbuka untuk umum
9.       Asas peradilan berjenjeng
10.   Asas peradilan sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan.
11.   Asas obyektifitas.
C.      Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara
Kompetensi adalah kewenangan atau kekuasaan untuk menentukan (memutuskan sesuatu).
Kompetensi peradilan di bagi menjadi 2 yaitu : kompetensi absolut dan kompetensi relatif.
Kompetensi absolut adalah menyangkut kewenangan badan peradilan apa  untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara.

Kompetensi absolut dari Peradilan Tata Usaha Negara  adalah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara seorang atau badan hukum  perdata dengan badan atau pejabat TUN (Tata usaha negara ) akibat di keluarkannya suatu suatu keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian. (pasal 1 anka 4 UU PTUN).

Kompetensi relatif adalah kewenangan dari pengadilan sejenis yang mana yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang bersangkutan.dalam kaitannya dengan peradilan tata usaha negara, maka kompetensi relatifnya adalah menyangkut kewenangan pengadilan tata usaha negara yang mana yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut.sehubungan dengan itu pasal 54 UU PTUN menyebutkan gugatan dapat di ajukan kepada PTUN tempat kedudukan (domisili) tergugat.

BAB  3
Persamaan dan Perbedaan Hukum Acara PTUN dengan Hukum Acara Perdata
A.      Persamaan Antara Hukum Acara Pengadilan TUN dengan Hukum Acara Perdata
1.       Pengajuan Gugatan
Pengajuan gugatan menurut hukum acara PTUN diatur dalam pasal 54 UU PTUN sedangkan menurut hukum acara perdata diatur dalam pasal 118 HIR.
2.       Isi Gugatan
Persyaratan mmengenai isi gugatan menurut hukum acara PTUN di atur dalam pasal 56 UU PTUN, sedangkan menurut hukum acara perdata diatur dalam pasal 8 nomor 3 Rv.
3.       Pendaftaran Perkara
Pendaftaran perkara menurut hukum acara PTUN diatur dalam pasal 59 UU PTUN, sedangkan dalam hukum acara perdata diatur dalam pasal 121 HIR.
4.       Penetapan Hari Sidang
Penetapan hari sidang menurut hukum acara PTUN diatur dalam pasal 59 ayat 3 dan pasal 64 UU PTUN,sedangkan menurut hukum acara perdata diatur dalam pasal 122 HIR.
5.       Pemanggilan Para Pihak
Pemanggilan para pihak menurut hukum acara PTUN diatur dalam pasal 65 dan pasal 66 UU PTUN, sedangkan menurut hukum acara perdata di atur dalam pasal 121 ayat (1) HIR, pasal 390 ayat (1) dan pasal 126 HIR.
6.       Pemberian Kuasa
Pemberian kuasa oleh kedua belah pihak menurut hukum acara PTUN diatur dalam pasala 67 UU PTUN, sedangkan menurut hukum acara perdata diatur dalam pasal 123 ayat (1) HIR.
7.       Hakim Majelis
Pemeriksaan perkara dalam hukum acara PTUN dan hukum acara Perdata dilakukan dengan Hakim Majeis (tiga orang hakim) yang terdiri atas satu orang bertindak selaku hakim ketua dan dua orang lagi bertindak sebagai hakim anggota (pasal 68 UU PTUN).
8.       Persidangan Terbuka Untuk Umum
Sidang pemeriksaan perkara di pengadilan pada asasnya terbuka untuk umum, dengan demikian setiap orang dapat untuk hadir dan mendengarkan jalannya pemeriksaan perkara tersebut. Dalam hukum acara PTUN diatur dalam pasal 70 ayat (1) UU PTUN sedangkan dalam ukum acara perdata diatur dalam pasal 179 ayat (1) HIR.
9.       Mendegar Kedua Belah Pihak
Dalam pasal 5 ayat (1) UU 14/1970 disebutkan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang. Dengan demikian ketentuan pasal ini mengandung asas kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihak, dan kedua belah pihak didengar dengan adil. Hakim tidak diperkenankan hanya mendengarkan atau memperhatikan keterangan salah satu pihak saja (audi et alteran partem).
10.      Pencabutan dan Perubahan Gugatan
Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya, sebelumtergugat memberikan jawaban. Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan yang diajukan penggugat, maka akan dikabulkan hakim, apabila mendapat persetujuan tergugat (pasal 76 UU PTUN dan pasal 271 RV).
11.      Hak Ingkar
          Untuk menjaga obyektivitas dan keadilan dari putusan hakim, maka hakim atau panitera wajib mengundurkan diri, apabila diantara para hakim,antara hakim dan panitera,antara hakim atau dengan salah satu pihak yang berperkara mempunyai hubungan sedarah atau semenda sampai derajat ketiga,atau hubungan suami isteri meskipun telah bercerai,atau juga hakim atau panitera mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan sengketanya.
12.      Pengikutsertakan Pihak Ketiga
Baik dalam hukum acara PTUN maupun hukum acara perdata, pada dasarnya didalam suatau sengketa atau perkara, sekurang-kurangnya terdapat dua pihak, yaitu penggugat (sebagai pihak yang mengajukan gugatan) dan pihak tergugat (sebagai pihak yang digugat oleh penggugat).
13.      Baik hukum acara PTUN maupun hukum acara perdata sama-sama menganut asas bahwa beban pembuktian ada pada kedua belah pihak, hanya karena yang mengajukan gugatan adalah penggugat, maka penggugatlah yang mendapat kesempatan pertama untuk membuktikannya.sedangkan kewajiban tergugat untuk membuktikan adalah dalam rangka membantah bukti yang diajukan oleh penggugat dengan mengajukan bukti yang lebih kuat (pasal 100 sampai dengan pasal 107 UU PTUN dan pasal 163 dan 164 HIR).
14.      Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan setelah adanya putusan. Dan putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 115 UU PTUN),yang pelaksanaanya dilakukan atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama (pasal 116 UU PTUN, pasal 195 HIR).
15.      Juru Sita

B.      Perbedaan Antara Hukum Acara TUN dengan Hukum Acara Perdata
1.       Objek Gugatan
Objek gugatan atau pangkal sengketa TUN adalah KTUN yang  dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang mengandung perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa, sedangkan dalam hukum acara perdata adalah peruatan melawan hukum.
2.       Kedudukan Para Pihak
Kedudukan para pihak dalam sengketa TUN,selalu menempatkan seseorang atau badan hukum perdata sebagai pihak tergugat. Sedangkan dalam hukum acara perdata tidaklah demikian.
3.       Gugat Rekonvensi
Gugat rekonvensi adalah gugatan yang diajukan oleh tergugat terhadap penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan antar mereka. Dalam hukum acara PTUN tidak mungkin dikenal adanya gugat rekonvensi, karena dalam gugat rekonvensi berarti kedudukan para pihak semula menjadi berbalik.
4.       Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan
5.       Tuntutan dalam Gugatan
Dalam hukum acara perdata boleh dikatakan selalu tuntutan pokok itu disertakan dengan tuntutan pengganti atau petitum subsidiair. Dalam hukum acara PTUN, hanya dikenal satu macam tuntutan agar KTUN yang digugat dinyatakan batal atau tidak sah atau tuntutan agar KTUN yang dimohonkan oleh penggugat dikeluarkan tergugat.
6.       Rapat Permusyawaratan
Prosedur ini tidak dikenal dalam hukum acara perdata. Sedangkan dalam hukum acara PTUN, ketentuan ini diatur dalam pasal 62 UU PTUN.
7.       Pemeriksaan Persiapan
Disamping pemeriksaan melalui rapat permusyawaratan, hukum acara PTUN juga mengenal pemeriksaan persiapan,yang juga tidak dikenal dalam hukum acara perdata.
8.       Putusan Verstek
Verstek berarti pernyataan bahwa tergugat tidak datang pada hari sidang pertama. Putusan verstek dikenal dalam hukum acara perdata dan boleh dijatuhkan pada hari sidang pertama,apabila terggat tidak datang setelah dipanggil dengan patut. Sedangkan dalam pasal 72 ayat 1 UU PTUN, maka dapat diketahui bahwa dalam hukum acara PTUN tidak dikenal putusan verstek karena badan atau pejabat TUN yang digugat itu tidak mungkin tidak diketahui kedudukannya.
9.       Pemeriksaan Acara Cepat
Dalam hukum acara PTUN dikenal pemeriksaan dengan acara cepat (pasal 98 dan 99 UU PTUN ), sedangkan dalam hukum acara perdata tidak dikenal pemeriksaan dengan acara cepat.
10.      Sistem Hukum Pembuktian
Sistem pembuktian dalam hukum acara perdata dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran formal, sedangkan dalam hukum acara PTUN dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran materiil.
11.      Sifat Erga Omnesnya Putusan Pengadilan
Dalam hukum acara PTUN, putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap mengandung sifat erga omnes artinya berlaku untuk siapa saja dan tidak hanya terbatas berlakunya bagi pihak-pihak yang berperkara,seperti halnya dalam hukum acara perdata.
12.      Pelaksanaan Serta Merta
Dalam hukum acara PTUN tidak dikenal pelaksanaan serta merta sebagaimana yang dikenal dalam hukum acara perdata. Dalam hukum acara PTUN, hanya putusan akhir yang telah berkekuatan hukum tetap saja yang dapat dilaksanakan.
13.      Upaya Pemaksa Agar Putusan Dilaksanakan
Dalma hukum acara perdata,apabila pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela,maka dikenal adanya upaya-upaya pemaksa agar putusan tersebut dilaksanakan, sedangkan dalam hukum acara PTUN tidak dikenal adanya upaya-upaya pemaksa, karena hakikat putusan adalah bukan menghukum sebagaimana hakikat putusan dalam hukum acara perdata.
14.      Kedudukan Pengadilan Tinggi
Dalam hukum acara perdata kedudukan pengadilan tinggi selalu sebagai pengadilan tingkat banding sehingga setiap perkara tidak dapat langsung diperiksa oleh pengadilan tinggi, tetapi harus terlebih dahulu melalui pengadilan tingkat pertama. Sedangkan dalm hukum acara PTUN kedudukan pengadilan tinggi  dapat sebagai pengadilan tingkat pertama.
15.      Hakim Ad Hc
Hakim ad hoc tidak dikenal dalam hukum acara perdata apabila diperlukan keterangan ahli dalam bidang tertentu, hakim cukup mendengarkan keterangan dari saksi ahli, sedangkan dalam hukum acara PTUN,hakim ad hoc diatur dalam pasal 135 UU PTUN. Apabila memerlukan keahlian khusus, maka ketua pengadilan dapat menunjuk seorang hakim ad hoc sebagai anggota majelis.

BAB 4
Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara
A.      Pangkal Sengketa TUN
Pangkal sengketa TUN dapat diketahui dengan mengetahui dengan menentukan apa yang menjadi tolak ukur sengketa TUN. Tolak ukur sengketa TUN adalah tolak ukur subyek dan pangkal sengketa. Tolak ukur subyek adalah para pihak yang bersengketa dibidang hukum administrasi negara (tata usaha negara).sedangkan pangkal sengketa adalah sengketa admlistrasi negara yang diakibatkan oleh ketetapan sebagai hasil perbuatan administrasi negara.tolak ukur pangkal sengketa adalah akibat dikeluarkannya suatu keputusan tata usaha negara (KTUN). Dengan demikian, UU PTUN hanya menganut sengketa ekstern. Sengketa ekstern adalah perkara administrasi yang menimbulkan sengketa antara administrasi negara dengan rakyat sebagai subyek.
Perbuatan atau tindakan badan atau pejabat TUN yang menjadi kompetensi PTUN adalah menyangkut perbuatan atau tindakan mengeluarkan keputusan.
Pangkal sengketa TUN adalah akibat dikeluarkannya KTUN. Berdasarkan pasal 1 angka 3 UU PTUN yang dimaksud KTUN adalah suatu penetapan tertulis ysng dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang berisi tindsakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final,yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
B.      Kedudukan Para Pihak dalam Sengketa TUN
Berdasarkan pasal 1 angka 4 UU PTUN para pihak dalam sengketa TUN adalah orang (individu) atau badan hukum perdata dan badan atau pejabat TUN. Dapat diketahui bahwa kedudukan para pihak dalam sengketa TUN adalah orang (individu) atau badan hukum perdata sebagai pihak penggugat dan badan atau pejabat TUN sebagai pihak tergugat. Hal ini sebagai konsekuensi logis bahwa pangkal sengketa TUN adalah akibat dikeluarkannya KTUN. Dengan demikian, dalam sengketa TUN tidak mungkin terjadi rekonvensi (gugat balik).
C.      Para Pihak dalam Sengketa TUN
Penggugat adalah orang atau badan hukum perdata yang dirugikan akibat dikeluarkannya KTUN.
Tergugat adalah selalu badan atau pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau dilimpahkan kepadanya.

D.      Jalur Penyelesaian Sengketa TUN
Dalam penjelasan pasal 48 disebutkan bahwa upaya administrasi adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum perdata apabila tidak puas terhadap suatu KTUN. Dalam hal penyelesaiannya itu harus dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan, maka prosedur tersebut dinamakan banding administrasi. Dalam hal penyelesaiannya KTUN tersebut harus dilakukan sendiri oleh badan atau pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan itu, maka prosedur yang ditempuh tersebut disebut keberatan.
Dalam IV tentang upaya administratif (pasal 48 beserta penjelasannya) angka 2 huruf a dan b deri surat edaran Mahkamah Agung nomor 2 tahun 1991 tentang petunjuk pelaksanaan beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menyebutkan :
a.    Apabila peraturan dasarnya hanya menentukan adanya upaya administratif berupa pengajuan surat keberatan,maka gugatan terhadap KTUN yang bersangkutan di ajukan PTUN
b.   Apabila peraturan dasarnya menetukan adanya upaya administratif berupa pengajuan surat keberatan dan atau mewajibkan pengajuan surat banding administratif, maka gugatan terhadap KTUN yang tellah di putuskan dalam tingkat banding administratif diajukan langsung kepada PTTUN dalam tingkat pertama yang berwenang.
Dengan demikian, ketentuan pasal 51 ayat (3) yang menyebutkan bahwa PTTUN bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan ditingkat pertama sengketa TUN sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 48, apabila sengketa itu telah diputuskan dalam tingkat banding administratif, sedangkan apabila upaya administratif yang tersedia hanya berupa keberatan, maka gugatan KTUN yang diputuskan dalam tingkat upaya keberatan tersebut tidak dapat diajukan tidak langsung kepada PPTUN,tetapi kepada PTUN.
Perbedaan antara upaya administratif dan PTUN adalah bahwa PTUN hanyalah memeriksa dan menilai dari segi hukumnya saja(rechmatigheid). Sedangkan penilaian dalam segi kebijaksanaan bukan menjadi wewenang PTUN (doelmatigheid). Pemeriksaan melalui upaya administratif, badan TUN selain berwenang menilai segi hukumnya, juga berwenang menilai segi kebijaksanaannya. Dengan demikian penyelesaian sengketa melalui upaya administratif menjadi lebih engkap. Tetapi, penilaian secara lengkap tersebut tidak termasuk dalam prosedur banding. Pada prosedur banding,badan TUN hanya melakukan penilaian dari segi hukumnya saja.tersedia atau tidaknya upaya administratif terhadap sesuatu KTUN itu ditentukan oleh sesuatu peraturan perundang-undangan. Keberatan atau pengaduan yang tidak ada dasar hukumnya tidaklah dapat disebut sebagai usaha menyelesaikan sengketa TUN melalui upaya administratif.
BAB 5
Gugatan ke PTUN
A.     Alasan Mengajukan Gugatan
Pasal 53 ayat (2) UU PTUN menyebutkan ada tiga alasan menggugat suatu KTUN ke Pengadilan tata usaha negara, yaitu :
a.       KTUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.      Badan atau pajabat TUN pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut.
c.       Badan atau pejabat TUN pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak mengambil keputusan tersebut.
Setelah berlakunya UU PTUN-04, maka alasan mengajukan gugatan ke peradilan TUN menurut ketentuan pasal 53 UU PTUN-04 adalah sebagai berikut :
1.       Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh sesuatu KTUN dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar KTUN yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau direhabilitasi.
2.       Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) adalah :
a.       KTUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan peundang-undangan yang berlaku.
b.      KTUN yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Menurut penjelasan pasal 3 undang-undang nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (UUPNBBKKN) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan asas-asas tersebut adalah sebagai berikut :
1.       Asas kepastian hukum
Adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara
2.       Asas tertib penyelenggaraan negara
Adalah asas yang menjadikan landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
3.       Asas kepentingan umum
Adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
4.       Asas keterbukaan
Adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rasia negara.
5.       Asas proporsonalitas
Adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara.
6.       Asas profesionalitas
Adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7.       Asas akuntabilitas
Asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akibat dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
B.      Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan
Tenggang waktu untuk mengajukan gugatan dalam pasal 55 UU PTUN disebutkan :
Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya keputusan badan atau pejabat TUN.
Tenggang waktu untuk mengajukan gugatan sembilan puluh hari tersebut dihitung secara bervariasi :
a.       Sejak hari diterimanya KTUN yang di gugat itu memuat nama penggugat.
b.      Setelah lewatnya tenggang waktu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang memberikan kesempatan kepada administrasi negara untuk memberikan keputusan, namun ia tidak berbuat apa-apa.
c.       Setelah lewat 4 (empat) bulan, apabila peraturan perundang-undangan tidak memberikan kesempatan kepada administrasi negara untuk memberikan keputusan dan ternyata ia tidak berbuat apa-apa.
d.      Sejak hari pengumuman apabila KTUN itu harus diumumkan.
C.      Syarat-syarat Gugatan
Dalam pasal 56 UU PTUN disebutkan bahwa syarat-syarat gugatan adalah :
1.       Gugatan harus memuat :
a.       Nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat atau kuasa hukumnya.
b.      Nama jabatan, dan tempat kedudukan penggugat.
c.       Dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh pengadilan.
2.       Apabila gugatan dibuat dan ditanda tangani oleh seorang kuasa penggugat, maka gugatan harus disertai surat kuasa yang sah.
3.       Gugatan sedapat mungkin juga disertai KTUN yang disengketakan penggugat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan pasal 56 ayat 1 UU PTUN syarat-syarat gugatan adalah harus memuat, identitas para pihak, fundamentum petendi atau posita,dan petitum.
D.     Tuntutan dalam Gugatan
Berdasarkan ketentuan pasal 53 ayat 1 UU PTUN, maka tuntutan dalam gugatan (petitum) yang dapat diajukan oleh penggugat ke PTUN adalah sebagai berikut :
Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar KTUN yang bersengketa itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau direhabilitasi.
Ketentuan pasal 53 ayat 1 UU PTUN tersebut diatas, juga harus dikaitkan dengan pasal 3 UU PTUN tentang KTUN negatif dan pasal 117 ayat 2 tentang tuntutan sejumlah uang atau kompensasi. Dari situ akan diperoleh perihal tuntutan apa saja yang dapat diajukan dalam gugatan :
1.       Tuntutan agar KTUN yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN itu dinyatakan batal atau tidak sah, atau
2.       Tuntutan agar badan atau pejabat TUN yang digugat untuk mengeluarkan KTUN yang dimohonkan penggugat, dengan atau tanpa
3.       Tuntutan ganti rugi dan atau
4.       Tuntutan rehabilitasi dengan atau tanpa kompensasi
E.      Permohonan Beracara dengan Cuma-Cuma
Ketentuan ini diatur dalam pasal 60 dan 62 UU PTUN yang menyebutkan sebagai berikut :
Pasal 60
1.       Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan untuk bersengketa dengan Cuma-Cuma.
2.       Permohonan diajukan pada waktu penggugat mengajukan gugatannya disertai surat keterangann tidak mampu dari kepala desa atau lurah ditempat kediaman pemohon.
3.       Dalam keterangan tersebut harus dinyatakan bahwa pemohon itu betul-betul tidak mampu membayar biaya perkara.
Pasal 62
1.       Permohonan sebagaimana dimaksud dalam pasal 60 harus diperiksa dan ditetapkan oleh pengadilan sebelum pokok sengketa diperiksa.
2.       Penetapan ini di ambil di tingkat pertama dan terakhir.
3.       Penetapan pengadilan yang telah mengabulkan permohonan penggugat untuk bersengketa dengan Cuma-Cuma ditingkat pertama, juga berlaku ditingkat banding dan kasasi.
BAB 6
Acara Pemeriksaan di PTUN
A.     Pemeriksaan dengan Acara Singkat
Pemeriksaan dengan acara singkat di PTUN dapat dilakukan apabila terjadi perlawanan (verset) atas penetapan yang diputuskan oleh ketua pengadilan dalam rapat permusyawaratan. Dalam pasal 62 UU PTUN,disebutkan :
1.       Dalam rapat permusyawaratan, ketua pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatana yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar dalam hal :
a.       Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang pengadilan
b.      Syarat-syarat gugatan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberitahu dan diperingatkan.
c.       Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak.
d.      Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh KTUN yang digugat.
e.      Gugatan di ajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.
(2) a. Penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 diucapkan dalam rapat      permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan dengan memanggil kedua belah pihak untuk mendengarkannya.
       b. Pemanggilan kedua belah pihak dilakukan dengan surat tercatat oleh panitera pengadilan atas perintah ketua pengadilan.
(3)    a. Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat diajukan perlawanan  kepada pengadilan dalam tenggang waktu empat belas hari setelah diucapkan.
          b.  perlawanan tersebut diajukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 56.
(4)  perlawanan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (3) diperiksa dan diputus oleh     pengadilan dengan acara singkat.
(5) Dalam hal perlawanan tersebut dibanarkan oleh pengadilan maka penetapan   sebagaiman yang dimaksud dalam ayat (1) gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa.
(6)   Terhadap putusan mengenaiperlawanan itu tidak dapat digunakan upaya hukum.
Pemeriksaan dengan acara singkat ini memiliki beberapa kelebihan sekaligus kelemahan-kelemahan. Kelebihannya adalah dapat mengatasi berbagai rintangan yang akan mungkin menjadi penghalang dalam penyelesaian secara cepat sengketa-sengketa TUN, dapat mengatasi arus masuknya perkara-perkara yang sebenarnya tidak memenuhi syarat, dan dapat dihindarkan pemeriksaan perkara-perkara menurut acara biasa yang tidak perlu dan yang akan memakan waktu dan biaya. Kelemahannya adalah jangka waktu empat belas hari mengajukan perlawanan, terhitung sejak penetapan dissmisal itu diucapkan dapat menjadi tidak realistis, karena dapat saja pada waktu penetapan itu diucapkan berhalangan hadir, berada di luar kota atau karena hal-hal yang lain. Disamping itu, putusan gugatan perlawanan atas penetapan ketua pengadilan itu tidak dapat digunakan upaya hukum, kecuali mengajukan gugatan baru, sepanjang tenggang waktu yang ditentukan                belum habis.
B.      Pemeriksaan Persiapan
Setelah melalui tahap rapat permusyawaratan, maka dilakukan pemeriksaan persiapan persiapan terhadap gugatan yang diajukan oleh penggugat. Dalam pasal 63 UU PTUN disebutkan sebagai berikut :
1.       Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas.
2.       Dalam pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hakim :
a.       Wajib memberikan nasihat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapinya dengan data yang diperlukan dalam waktu tiga puluh hari.
b.      Dapat meminta penjelasan kepada badan atau pejabat TUN yang bersangkutan.
3.       Apabila dalam jangka waktu sebagaimana di maksud dalam ayat (2) huruf a penggugat belum menyempurnakan gugatan, maka hakim menyatakan dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima.
4.       Terhadap putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak dapat digunakan upaya hukum, tetapi dapat diajukan gugatan baru.
Lebih lanjut tentang pemeriksaan persiapan dalam angka III SEMA Nomor 2 Tahun 1991, disebutkan :
1.       Tujuan pemeriksaan adalah untuk mematangkan perkara.
Segala sesuatau yang akan dilakukan dari jalan pemeriksaan persiapan tersebut diserahkan kepada kearifan dan kebijaksanaan ketua majelis.
Oleh karena itu dalam pemeriksaan persiapan memanggil penggugat untuk menyempurnakan gugatannya dan atau tergugat diminta keterangan/penjelasan tentang keputusan yang digugat, tidak selalu harus didengar secara terpisah (pasal 63 ayat 2  a dan b).
2.       (a).  Pemeriksaan persiapan dilakukan di ruangan musyawarah dalam sidang tertutup untuk umum, tidak harus  di ruangan sidang bahkan dapat pula dilakukan dalam kamar kerja hakim tanpa memakai toga.
(b).  Pemeriksaan persiapan dapat pula dilakukan oleh hakim anggota yang di tunjuk oleh ketua majelis sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh ketua majelis.
(c).   Maksud pasal 63 ayat (2) b tidak terbatas hanya kepada badan/pejabat TUN yang digugat, tetapi boleh juga terhadap siapa saja yang bersangkutan dengan data-data yang diperlukan untuk mematangkan perkara itu.
3.       (a).  Dalam tahap pemeriksaan persiapan maupun selama pemeriksaan di muka persidangan yang terbuka untuk umum dapat dilakukan pemeriksaan setempat.
(b).   Dalam melakukan pemeriksaan setempat tidak perlu harus dilaksanakan oleh majelis lengkap, cukup oleh seorang hakim anggota yang khusus ditugaskan untuk melakukan pemeriksaan setempat. Penugasan tersebut dituangkan dalam bentuk penetapan.
(c).    Apabila dipandang perlu untuk menentukan dikabulkan atau tidaknya dikabulkan permohonan penundaan itu, oleh majelis yang bersangkutan dapat pula mengadakan pemeriksaan setempat.
4.       Majelis hakim myang menangani suatu perkara berwenang sepenuhnya untuk memberikan putusannya terhadap perkara tersebut, termasuk pemberian putusan menyatakan gugatan penggugat tidak diterima untuk seluruhnya atau sebagian  gugatan, meskipun perkara itu telah lolos dari dismissal proses.
C.      Pemeriksaan Permohonan Penangguhan Pelaksanaan KTUN
Permohonan penangguhan pelaksanaan KTUN diatur dalam pasal 67 UU PTUN, yang menyebutkan sebagai berikut :
1.       Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya keputusan badan atau pejabat Tun serta tindakan badan atau pejabat TUN yang digugat.
2.       Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan KTUN itu ditunda selama pemeriksaan sengketa TUN sedang berjalan, sampai ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
3.       Permohonan sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat diajukan sekaligus dalam gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok sengketanya.
4.       Permohonan permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat(2) :
a.       Dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat mendesakyang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika KTUN yang digugat itu tetap dilaksanakan.
b.      Tidak dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalam rangka pembangunan mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut.
Lebih lanjut tentang penundaan pelaksanaan KTUN yang digugat dalam angka IV SEMA nomor 2 tahun 1991, disebutkan bahwa :
1.       Setiap tindakan prosesual persidangan dituangkan dalam bentuk “penetapan”, kecuali putusan akhir yang harus berkepala “putusan”
2.       Penundaan yang dimaksud dalam pasal 67 ayat (4) sub a dan b dapat dikabulkan dalam 3 (tiga) tahapan prosesual, yaitu :
a.       Selama permohonan penundaan tersebut masih ditangan ketua, penundaan dilakukan oleh ketua dan ditanda tangani oleh ketua dan panitera/wakil panitera.
b.      Setelah berkas perkara diserahkan kepada majelis, maka majelispun dapat mengeluarkan penetapan penundaan tersebut baik selama proses itu berjalan, setelah mendengar kedua belah pihak, meupun pada putusan akhir,ditandatangani oleh ketua majelis dan panitera,kecuali pada putusan akhir harus ditandatangani oleh majelis lengkap.
c.       Pencabutan penetapan penundaan yang dimaksud, dapat dilakukan :
-          Selama perkara masih ditangan ketua, dilakukan oleh ketua sendiri, kecuali putusan akhir yang harus ditandatangani oleh ketua majelis dan panitera pengganti.
-          Apabila perkara sudah ditandatangani majelis,pencabutannya dapat dilakukan majelis yang bersangkutan.
d.      Baik pengabulan penundaan KTUN yang digugat maupun pencabutannya dilakukan dengan menuangkannya dalam bentuk penetapan, kecuali yang dituangkan dalam putusan akhir.
e.      Di dalam formulir penetapan pengabulan penundaan yang dilakukan oleh ketua tersebut ditambahkan anak kalimat “kecuali ada penetapan lain di kemudian hari”.
3.       Cara penyampaian penetapan penundaan tersebut, mengingat sifatnya yang sangat mendesak itu dapat dilakukan dengan cara pengiriman telegram /telex ataupun dengan kurir agar secepatnya sampai kepada yang bersangkutan. Hal ini adalah pengecualian dari maksud pasal 116. Dalam hal pengiriman dengan telegram/telex, cukup extract penetapannya saja yang kemudian harus disusul dengan pengiriman penetapannya via pos.
4.       Apabila ada penetapan penundaandimaksudkan yang tidak dipatuhi oleh tergugat, maka ketentuan pasal 116 ayat (4), (5), dan (6) dapat dijadikan pedoman dan dengan menyampaikan tembusannya kepada ketua MA, Menteri Kehakiman, Menteri Pendayaan Aparatur Negara.
D.     Pemeriksaan dengan Acara Cepat
Pemeriksaan dengan acara cepat diatur dalam pasal 98 dan 99 UU PTUN, yang menyebutkan:
1.       Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya, penggugat dalam gugatannya dapat memohon kepada pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat.
2.       Ketua pengadilan dalam jangka waktu empat belas hari setalah diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalma ayat (1) mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut.
3.       Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud ayat (2) tidak dapat digunakan upaya hukum.
Selanjutnya dalam pasal 99 UU PTUN disebutkan sebagai berikut :
1.       Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan dengan hakim tunggal.
2.       Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam pasal 98 ayat (1) dikabulkan, ketua pengadilan dalam jangka waktu tujuh hari setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 98 ayat (2) menentukan hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 63.
3.       Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak, masing-masing ditentukan tidak melebihi empat belas hari.
E.      Pemeriksaan dengan Acara Biasa
pemeriksaan sengketa dengan acara biasa diatur dalam pasal 68 sampai dengan pasal 97 UU pTUN. Dari pasal-pasal tersebut yang perlu dikemukakan disini berkaitan dengan pemeriksaan sengketa dengan acara biasa dilakukan dengan majelis hakim (tiga orang hakim). Hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum, kecuali menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara, persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk umum.

Bab 7
Pembuktian

A.     Alat-alat Bukti
Dalam pasal 100 sampai dengan 106 UU PTUN disebutkan alat-alat bukti yang dapat diajukan dalam hukum acara PTUN :
a.       Surat atau tulisan
b.      Keterangan ahli
c.       Keterangan saksi
d.      Pengakuan para pihak
e.      Pengetahuan hakim
1.       Surat atau Tulisan
Surat sebagai alat bukti terdiri atas tiga jenis yaitu :
a.       Akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat ini dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum yang tercantum didalamnya.
b.      Akta dibawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan mmaksud untuk dapat dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang terantum didalamnya.
c.       Surat-surat lain yang bukan akta.
2.       Keterangan Ahli
Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan dibawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya. Seorang yang tidak boleh didengar sebagai saksi berdasarkan pasal88 UU PTUN tidak boleh memberikan keterangan ahli. Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya hakim ketua sidang dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli.
3.       Keterangan Saksi
Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atu didengar oleh saksi sendiri.
Dalam pasal 88 UU PTUN disebutkan yang tidak boleh menjadi saksi adlah :
a.       Keluarga sedarah atau samenda menurut garis lurus keatas atau kebawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa.
b.      Isteri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa, meskipun sudah bercerai.
c.       Anak yang belum berusia tujuh belas tahun.
d.      Orang sakit ingatan.
Sedangkan berdasarkan pasal 89 UU PTUN disebutkan bahwa orang yang dapat minta pengunduran diri dari kewajiban untuk memberikan saksi adalah :
a.       Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak.
b.      Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat, pekerjaannya dan jabatannya itu.
4.       Pengakuan Para Pihak
Pengakuan para pihak tdak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan kuat dan dapat diterima oleh hakim. Pengakuan adlah merupakan keteranagn yang membenarkan peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh pihak lawan dengan maksud untuk segera menyelesaikan perkara. Dengan demikian pengakuan dapat menjadi alat bukti yang sempurna.
Pengakuan dimuka hakimpersidangan merupakan keterangan sepihak, baik secara tertulis maupun lisan yang tegas dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara di persidangan, yang membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya, yang mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim  yang tidak perlu lagi.
Pengakuan diluar sidang ialah keterangan yang diberikan oleh salah satu pihak daLam suatu perkara perdata di luar persidangan untuk membenarkan pernyataan-pernyataan yang diberikan oleh lawannya.
5.       Pengeahuan Hakim
Pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. Penegtahuan hakim oni harus obyektif, tidak berpihak pada salh satu pihak, sehingga pengetahuan hakim tersebut dipergunakan oleh hakim untuk kepentingan salah satu pihak saja, dengan berlindung dibalik alat bukti pengetaun hakim itu. Untuk menjaga keobyektifan pengetahuan hakim ini, maka pengatahuan hakim ini tidak boleh menyampingkan alat-alat bukti yang lain.
B.      Beban Pembuktian
Dalam pasal 107 UU PTUN disebutkan bahwa hakim menetukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim.
Hakim PTUN dapat menentukan sendiri :
a.       Apa yang harus dibuktikan
b.      Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus di buktikan oleh hakim sendiri.
c.       Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian.
d.      Kekuatan pembuktian bukti yang diajukan.